Teologi Islam
Pendahuluan
Istilah teologi, dalam bahasa Yunani adalah "theologia". Istilah yang berasal dari gabungan dua kata "theos, Allah" dan "logos, logika". Arti dasarnya adalah suatu catatan atau wacana tentang ketuhanan. Sedangkan definisi-definisi teologi menurut para ahli, yaitu, menurut William L. Resse, Teologi berasal dari bahasa Inggris yaitu theology adalah Pemikiran tentang ketuhanan. Sedangkan menurut William Ockham, Teologi adalah Disiplin ilmu yang membicarakan kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan. Dan menurut Ibnu Kaldun, Teologi adalah disiplin ilmu yang mengandung berbagai argumentasi tentang akidah imani yang diperkuat dalil-dalil rasional.
Islam merupakan agama yang mempunyai sejarah pergulatan teologi yang panjang. Dengan rentang sejarah yang panjang itu, teologi Islam pernah menancapkan sebuah fakta untuk turut serta meramaikan pergulatan intelektual dalam pentas peradaban ilmu pengetahuan dan politik dunia. Berbagai konsep dan sudut pandang teologis muncul secara dialektis dalam atmosfir kebudayaan Islam.
Secara konsvensional Islam memang mempunyai bangunan ketuhanan yang sifatnya monoteis. Sebuah agama yang mempunyai keyakinan tentang Tuhan yang satu. Namun, dalam realitas empiriknya, Tuhan yang satu tersebut melahirkan beragam pandangan dan konsep teologis yang berbeda-beda. Artinya meskipun Tuhan sebagai obyek keyakinan umat Islam sama yakni Allah, namun ketika Allah yang satu itu direspon dan dipahami oleh banyak individu umat Islam sejagad, maka justru melahirkan beragam konsep ketuhanan.
SEJARAH TEOLOGI ISLAM
Lahirnya teologi dalam Islam adalah tergolong unik, karena teologi islam bukan lahir dari persoalan agama, tetapi lahir dari persoalan politik. Persoalan politik ini berkembang bahkan meningkat menjadi persoalan teologi.
Dengan demikian, teologi Islam tersebut sangat lengket dengan persoalan politik. Ketika hendak membedah teologi, mau tidak mau juga membedah politik. Memang semenjak wafatnya Rosulullah, umat Islam menaruh penting persoalan kepemimpinan. Umat Islam Arab yang masyarakatnya terdiri dari berbagai suku, sering terjebak dalam pertentangan mengenai sosok pemimpin yang pantas menggantikan Rosulullah sebagai pemimpin masyarakat.
Ketika nabi wafat pada tahun 632 M daerah kekuasaan Madinah bukan hanya terbatas pada
Menurut Harun Nasution, dalam sejarah Islam, teologi Islam terbagi dalam periode atau zaman yakni zaman klasik (650-1250 M), zaman pertengahan (1250-1800 M) dan zaman modern (1800 dan setererusnya).
1. Periode klasik (650-1250 M).
Teologi yang berkembang di era klasik ini adalah teologi sunnatullah atau Qadariyyah, teologi yang berdasarkan pada hukum alam (natural law). Teologi natural pada prinsipnya keberimanan yang berdasarkan hanya pada rasio, teologi ini kajiannya murni filsafat. Ciri-ciri teologi natural (sunnatullah) ini adalah :
- kedudukan akal yang tinggi
- kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan.
- kebebasan berpikir hanya diikat oleh ajaran-ajaran dasar dalam al-Qur’an dan Haditas yang sedikit sekali jumlahnya.
- Percaya pada adanya sunnatullah dan kausalitas
- mengambil dari metaforis dari wahyu
- Dinamika dalam sikap dan berpikir.
Lahirnya teologi sunnatullah atau natural ini didukung oleh lahirnya hubungan antara dunia Islam dengan alam pemikiran Yunani. Ketika dunia Islam mulai bersentuhan dengan peradaban Yunani, maka rasionalisme mulai bergeliat dalam dunia Islam. Semangat rasionalisme yang ada dalam filsafat inilah yang dijadikan oleh para pemikir Islam untuk membangun teologi.
Di antara para filsof Yunani, Aristoteles adalah yang paling menarik bagi orang-orang Islam. Dari dia para pemikir muslim mengambil terutama metode berpikir sistematis dan rasional, yaitu al-Manthiq (logika formal), di samping biologi, ilmu bumi matematis dan lain-lain. Mereka memandangnya sebagai “al-mu’allim al-awwal” (guru pertama). Sesungguhnya, pemahaman kaum muslimin terhadap pikiran guru pertama itu, secara keseluruhannya, adalah terjadi melalui teropong neoplatonisme, karena sebagian besar lewat karya-karya para penafsir, khususnya karya-karya plotinus dan Prophiry. Salah satu karya kefilsafatan yang amat bgesar pengaruhnya kepada dunia pemikiran filsafat Islam adalah “Theologia Aristotelis”.
Periode klasik ini secara umum terbagi menjadi dua:
a. Pertama adalah periode klasik (650-1000)
yaitu periode zaman di mana daerah Islam mulai meluas melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol di Barat dan di Persia sampai mke India di Timur. Di masa ini ilmu pengetahuan dan peradaban Islam berkembang dan maju pesat. Ilmu-ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu, seperti fiqh, filsafat, sufusme dan termasuk teologi. Dari periode ini ulama –ulama fiqh yang mucul seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii. Sementara dalam bidang teologi ulama-ulama yang lahir adalah Imam Al-Asy’ari, Imam Al-Maturidi, Washil Bin Atho’ Abu Huzail, Al-Nizam dan Al-Jubai.
b. Fase Disintegerasi (1000-1250 M).
Di masa ini persatuan dan kesatuan umat Islam mulai mengalami kemunduran. Konflik politik seringkali melanda sehingga menyebabkan Baghdade berhasil dikuasasi oleh Hulaghu Khan di tahun 1258.
Teologi sunnatullah atau Qadariyyah ini bukan sekedar beroreintasi pada kehidupan akhirat, melainkan juga mempunyai target dunia. Oleh karena itu, di era Qadariyah ini, di samping basis keimanan umat Islam karena ditopang oleh rasionalisme, bidang-bidang lain seperti ekonomi, politik dan sejenisnya mengalami kemajuan pesat. Mesir, Suriah dan Persia, ketika itu menjadi pusat perdagangan rempah-rempah, sutra dan lain-lain di Timur Tengah.
Sementara itu di bidang tasawuf yang berkembang adalah tasawuf falsafi. Tasawuf falsafi merupakan sebuah pemikiran atau aktifitas untuk mengenal lebih dekat kepada Tuhan tetapi tetap menggunakan pemiiran filosofis. Dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, para sufi menempuh jalan panjang dan sulit meskipun akhirnya sampai juga pada tujuan mereka.
Bukan hanya itu, pada zaman klasik ini sains juga mengalami kemajuan pesat meskipun tidak sepesat era sekarang. Seperti pada Ilmu kedokteran, Ilmu kimia, Matematika dan banyak lainnya.
2. Periode Pertengahan ((1250-1800 M)
Pada periode ini telah terjadi pembalikan sejarah antara Islam dan Barat. Islam yang di era klasik bisa mencapai kejayaan ilmu pengetahuan dan teologi berkat dialognya dengan dunia Barat, maka di era pertengahan ini Islam justru mengalami era kegelapan (the darkness age). Setelah Timur berhasil dihancur leburkan oleh kengiskhan dan hulaghu khan, maka hampir semua literatur –literatur Islam di bawa oleh para pem\njajah tersebut ke Barat sementara sebagian yang lain telah mereka bakar.
Pada periode pertengahan juga di bagi dua:
a. Periode pertengahan I (1250-1500) adalah fase kemunduran. Pada fase ini bibit perpecahan dan disintegrasi antara umat Islam mengalami eskalasi. Konflik antara Sunni dan Syai’ah semakin menajam. Di sisi lain secara geofrafis dunia Islam hancur berkeping-keping mnejadi pecahan-pecahan kecil akibat kuatnya disintegrasi. Secara umum teritori Islam terbagi dua yaitu bagian Arab yang terdiri dari Arabia, Suria, Iraq, Palestina, Mesir dan Afrika Utara dengan Mesir sebagai pusatnya.
b. Fase tiga kerajaan besar (1500-1800) yang dimulai dengan zaman kemajuan (1500-1700) dan zaman kemunduran (1700-1800). Tiga kerajaan besar itu adalah kerajaan Turki Utsmani (Ottoman Empire) yang berpusat di Turki, kerajaan Safawi di Persia dan kerajaan Mughal di India. Di masa kemajuan ini masing-masing kerajaan mempunyai keunggulan masing-masing khsususnya di bidang literatur dan seni arsitektur.
Karena perhatian dan apresiasi terhadap ilmu pengetahuan atau filsafat rendah, maka teologi yang berkembang pada periode pertengahan ini adalah teologi Jabariyyah. Ciri-ciri teologi ini adalah:
a. Kedudukan akal rendah
b. Ketidakbebasan dalam kemauan dan perbuatan
c. Kebebasan berpikir yang diikat oleh banyak dogma
d. Ketidakpercayaan kepada sunnatullah dan kausalitas
e. Terikat pada arti literal al-Qur’an dan Hadits
f. Statis dalam sikap dan berpikir
Kedudukan akal yang rendah menjadikan umat Islam tidak lagi merumuskan teologi baru yang benar-benar bergairah hingga menjadikan umat bertindak dan berpikir progresif. Pada periode ini yang berkembang bukan lagi berfastabiqul khairot untuk berijtihad , tetapi justru sebaliknya mayoritas umat Islam berduyun-duyun berteduh di bawah pohon taqlid. Sikap umat Islam yang semacam, ini menyebabkan semangat dan aktifitas intelektual di dunia muslim menjadi terhenti.
Selanjutnya, karena tidak adanya pemikiran logis yang mampu merenungkan alam semesta, sebagaimana yang dipraktikkan oleh para pemikir dan filsof muslim, maka kreatifitas berpikir untuk mewrumuskan teologi-teologi baru tidak nampak. Umat Islam hanya percaya bahwa seluruh jagad raya ini adalah dikendalikan oleh yang maha satu yaitu Allah SWT.
Dalam teologi Jabariyyah yang statis dan fatalistik ini, berlaku sebuah keyakinan bahwa manusia tidak mmempunyai kehendak, tidak mempunyai kekuasaan dan tidak mempunyai pilihan; manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya.
Dengan pandangan semacam ini, maka manusia tidak lebih dari sebuah wayang yang digerakkan oleh seorang dalang. Seluruh perbuatan manusia adalah perbuatan yang dipaksakan oleh Allah kepada manusia itu sendiri. Perbuatan ini tidak muncul dari kemauannya sendiri.
Dengan teologi yang demikian itu, maka produktifitas para ulama di masa ini menurun drastis. Hasil-hasil karya yang sejak era klasik bisa berkembang pesat dengan berbagi keilmuan, di era pertengahan ini mengalami mati suri. Begitu juga di bidang lain seperti ekonomi dan, industri dan pertanian juga menurun drastis. Hanya di bidang politik yang agak menonjol karena pada zaman poertengahan ini masih dijumpai tiga imperium besa yaitu Turki Utsmani, Safawi dan Mughal.
3. Abad Modern (1800 dan seterusnya)
Istilah modern, secara umum, berasal dari kata moderna yang artinya sekarang (Jerman:Jetzeit). Dengan pengertian itu kita tahu bahwa yang disebut modern, manakala semangat kekinian menjadi kesadaran seseorang. Sebagai bentuk peradaban dan semangat zaman, modernitas dicirikan oleh tigal hal yaitu individualistik, rasionalisme dan kemajuan.
Ketika memasuki abad ke 19 umat Islam mengalami keterkejutan yang luar biasa. Sebab, pada era ini Eropa atau Barat, yang di era klasik masih berada dalam kegelapan dan kemunduran, kini justru berbalik menjadi pusat peradaban dunia. Era kemajuan di Barat inilah yang populer disebut sebagai abad modern. Abad modern adalah masa peralihan dari kebudayaan teosentris ke antroposentris, peralihan dari peradaban langit ke peradaban bumi, dari metafiskikan ke fisika, dari immateri ke materi. Peradaban ini pada hakekatnya adalah hasil renaissance dan pencerahan (enleighment) yang terjadi di eropa. Era renaissance adalah era lahirnya kebebasan dan terlepasnya kehidupan dari norma-norma agama. Era renaissance ini ditandai oleh munculnya pengetahuan baru yang didapatkan melalui intensitas observasi dan pengamatan alam semesta. Pada taraf ini dunia atau alam semesta menjadi daya tarik utama untuk menghasilkan ilmu pengetahuan. Dari sini berkembanglah ilmu astronomi dan geography. Meskipun sebelumnya, di dunia Islam ilmu-ilmu semacam ini sudah pernah ditemukan oleh para pemikir muslim.
Semangat zaman yang antroposentris ini akhirnya melahirkan berbagai sikap hidup di antaranya adalah sikap kritis. Sikap kritis ditujukan terhadap dogma-dogma agama yang sudah sekian tahun membatu. Sikap yang lain adalah humanisme. Sikap ini ditunjukkan dengan maraknya berbagai hasil karya seni seperti musik, lukis, patung atau drama yang lebih mengangkat manusia dasripada eksistensi Tuhan.
Sebelum pintu modernitas benar-benar terbuka, di Barat telah muncul beberapa pemikir atau filsuf yang mulai melncarkan serangan-serangannya terhadap peradaban abad pertengahan. Abad pertengahan adalah abad yang lebih mengunggulkan Tuhan, lebih membela wahyu daripada akal. Era ini ditandai oleh kuatnya otoritas gereja atas segala peradaban dan kebudayaan. Oleh karena itu tokoh-tokoh pemikir di ambang modernitas berusaha untuk mendobrak tatanan atau sistem rezim gereja yang memnindas itu. Dalam hal ini Nicollo Machiavelli (1469-1527) yang mempelopri untuk menyerang sistem politik gereja yang absolut, kemudian Giordano Bruno (1548-1600) yang dengan gencar mengkritik pakem-pakem agama (gereja) dan Francis Bacon (1561-1626) yang mulai intens menegakkan semangat ilmu pengetahuan dengan semboyannya knowledge is power.
Melihat fajar pencerahan dan kebangkitan peradaban di Barat yang berkembang pesat itu, hal itu seolah menyentak umat Islam dari tidur panjangnya yang dia lakukan sejak era pertengahan. Ketika modernitas ini muncul Barat, maka umat barus melek bahwa umat Islam telah mengalami dekadensi dan kemunduran yang luar biasa. Akibat kemundurannya itu, umat Islam akhirnya menjadi obyek penjajahan Barat. Salah satu bukti konkritnya adalah hancurnya tiga kerajaan besar– yang di era pertengahan masih eksis— oleh ekspansi dan imperialisme bangsa Barat. Turki Utsmani yang pernah berjaya di abad pertengahan mengalami kekalahan dalam perangnya di Eropa, kerajaan Safawi di Mesir, dalam waktu tiga minggu berhasil ditaklukkan oleh Napoleon Bonaparte dan kerajaan Mughal di India telah dihancurkan oleh Inggris.
Namun, usaha-usaha pembaharuan atau modernisasi dalam dunia Islam, sebenarnya sebelumnya telah dimulai dari sebuah zaman yang disebut modern ini. Usaha-usaha itu terutama dijalankan oleh kerajaan Utsmani. Dalam peperanganya dengan negara-negara Eropa, kerajaan Turki Utsmani pada awal abad ke 17, mengalami mkekalahan dari Peter Agung dari Rusia. Dengan modernisasi yang dilakukan oleh Rusia, Rusia menjadi lebih kuat dari Turki Utsmani. Hal ini akhirnya, membuat sultan-sultan Utsmani juga ingin mengadakan modernisasi di Turki, terutama di lapangan militer. Usaha-usaha yang modernisasi yang dijalankan oleh sultan Utsmani pada waktu itu lebih terpusat pada usdaha untuk memperkuat kekuatan militer.
Di antara tokoh-tokoh mujadid atau pemikir-pemikir baru Islam yang sangat getol mengusung isu-isu modern adalah Muhammad Abduh, Rasyid Ridlo, Jamaluddin Al-Afghani, Zia Gokalp, Seyyid Ahmad Khan dan seterusnya. Para pemikir dan filsof ini adalah tokoh-tokoh pembaharu yang mencoba menyerukan untuk kembali kepada teologi sunnatullah dengan pemikiran rasional, filosofis dan ilmiah zaman klasik di kalangan ulama dan umat Islam zaman modern.
Oleh karena itu dengan kembali ke al-Qur’an dan Hadits itu dimakusdkan agar umat Islam bisa kembali berpikir jernih dan tidak terperangkap oleh takahyyul dan mitos-mitos agama. Di samping itu, dalam memahami al-Qur’an diharapkan umat Islam lebih rasional.
Dari sini bisa diketahui bahwa gerakan pembaharuan umat Islam untuk kembali kepada teologi sunnatullah adalah mirip dengan gerakan modernisme di Barat yang mana otoritas gereja yang lebih mengedepankan mistik dan dogma-dogma agama. Namun karena pola berpikir mistik dan penuh takhayyul tersebut yang sudah sedemikian rupa mendarah daging di kalangan umat Islam agaknya sulit untuk ditanggulangi. Entah karena ketakutannya atau karena sudah terlalui enak dengan pola berpikirnya itu, maka banyak umat Islam yang ragu-ragu atau kurang percaya diri dengan teologi sunnatullah. Mereka yang fatalistik ini masih menganggap bahwa segala –galanya telah ditentukan secara mutlak oleh Tuhan.
ALIRAN – ALIRAN TEOLOGI ISLAM
1. Khawarij
khawarij berasal dari kata kharaja yang berasal dari kata kharaja yang berarti keluar maksudnya adalah bahwa kalangan mereka adalah orang – orang yang keluar dari barisan Ali ra. Pada saat peristiwa arbitrase dengan muawiyah ra padahal sebelumnya menjadi pendukung Ali ra. kemunculan kalangan khawarij diakibatkan oleh konflik pada masa utsman ra dan ali ra menjadi khalifah kaum muslimin. Mereka menganggap bahwa khalifah tersebut telah menyeleweng dari ajaran Islam. Sejak itulah mereka menganggap bahwa Utsman ra, Ali ra, Muawiyah ra, telah keluar dari ajaran Islam. Dari sinilah kalangan Khawarij memasuki persoalan kufr : siapakah yang kafir atau yang keluar dari Islam dan siapa yang disebut mukmin atau masih tetap dalam Islam. Kalangan khawarij pun pada perkembangannya terpecah menjadi banyak golongan.
2. Murji'ah
Sebagaimana kaum khawarij , kaum Murji'ah pada mulanya juga timbul dari persoalan politik antara Mua'wiyah ra dan Ali ra. Namun kalangan murji'ah adalah mereka yang bersifat netral terhadap permasalahan politik tersebut, yakni dimana mereka tidak memihak kepada siapapun dalam konflik tersebut dan memahami bahwa para sahabat yang terlibat konflik adalah sema – sama mempunyai sifat keadilan sehingganya mereka berpendapat bahwa permasalahan tersebut biarlah diadili oleh Allah SWT. Pada perkembangannya kalangan murji'ah ini terbagi menjadi murji'ah moderat dan murji'ah ekstrem. Kalangan murji'ah ekstrem berpendapat bahwa muslim yang percaya kepada
tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufur tempatnya dalam hati. Sedangkan murji'ah moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka orang demikian adalah mukmin dan akhirnya akan masuk surga. Pendapat kalangan murji'ah moderat mengenai iman, kufur, dan dosa besar agaknya sama seperti pandangan ahlusunnah waljama'ah.
3. Qadariyah
Paham Qadariyah merupakan paham yang muncul akibat perdebatan antara ketetapan atau kehendak Allah dan kebebasan manusia untuk beramal atau berbuat. Kalangan qadariah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut paham Qadariah manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkannya perbuatan – perbuatannya. Dengan demikian nama Qadariah berasal dari pengetian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar atau kadar tuhan. Mereka berdalil dengan ayat – ayat al-Qur'an :
“buatlah apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya ia melihat apa yang kamu perbuat” (TQS Fussilat : 40)
“Bagaimana? Apabila bencana menimpa diri kamu sendiri kamu sedang kamu telah menimpakan bencana yang berlipat ganda (pada kaum musyrik di badar) kamu bertanya:
“Darimana datangnya ini? Jawablah : Dari kamu sendiri” (TQS Ali – Imran : 164)
“Tuhan tidak mengubah apa yang ada pada suatu kaum, sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka” (TQS Ar-Ra'du : 11)
4. Jabariah
Paham Jabariah juga merupakan paham yang muncul akibat perdebatan sebagaimana qadariah namun paham jabariah memandang bahwa manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa - apa ; manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan; manusia dalam perbuatannya dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan, dan pilihan baginya. Mereka berdali dengan ayat al-Qur'an :
“Mereka sebenarnya tidak akan percaya, sekranya Allah tidak menghendaki” (TQS Al- An'am : 112)
“Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat” (TQS As-Saffat : 96)
“Tidak ada bencana yang menimpa bumi dan diri kamu, kecuali (ditentukan) di dalam buku sebelum kami wujudkan.” (TQS al-Hadid : 22)
“Tidak kamu menghendaki, kecuali Allah menghendaki.” (TQS al-Insan ; 30)
5.Mu'tazilah
Kaum Mu'tazilah adalah golongan yang membawa persoalan – persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada peroalan – persoalan yang dibawa kaum khawarij dan murji'ah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mereka sering disebut “kaum rasionalis Islam” pandangan – pandangan mendasar mu'tazilah ialah tauhid . Tuhan dalam pandangan mereka akan betul – betul maha esa apabila tuhan merupakan suatu zat yang unik, tidak ada yang serupa dengan dia. Kalangan mu'tazilah berpandangan bahwa tuhan tidak dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepalanya sehingga mereka menolak pandangan bahwa akan ada perjumpaan dengan tuhan di surga nantinya. Kaum mu'tazilah juga menolak sifat – sifat tuhan, yaitu sifat – sifat yang mempunyai wujud sendiri di luar zat tuhan. Ajaran dasar kedua ialah keadilan tuhan. Sehingganya mereka menganggap bahwa perbuatan manusia adalah murni diciptakan oleh manusia itu sendiri. Sehingga manusia tidak dipaksa berbuat oleh tuhan karena menurut mereka adalah suatu ketidakadilan ketika tuhan menghisab perbuatan seseorang yang diciptakan sendiri oleh tuhan. Ajaran dasar ketiga ialah al-manzilah bain al manzilatain, yakni posisi menengah bagi berbuat dosa besar, juga erat hubungannya dengan keadilan tuhan. Pembuat dosa besar bukanlah kafir, karena ia masih percaya kepada tuhan dan Nabi Muhammad ; tetapi bukanlah mukmin, karena imannya tidak lagi sempurna. Karena bukan mukmin ia tidak dapat masuk surga, dan karena bukan kafir pula, ia sebenarnya tak mesti masuk neraka. Ia seharusnya ditempatkan di luar surga dan diluar neraka. Inilah sebenarnya keadilan menurut mereka. Ajaran dasar keempat yakni perintah berbuat baik dan larangan berbuat
jahat. Namun menurut mereka tidak cukup dengan seruan tapi juga dengan kekerasan. Dalam hal ini ialah pemaksaan atas ajaran – ajaran yang mereka anut. Ajaran kelima ialah bahwa tuhan itu qadim (terdahulu) maka sesuatu yang hadis (baru) setelah tuhan adalah ciptaan tuhan (makhluk) sehingganya mereka memandang bahwa al-Qur'an yang menurut mereka baru ialah makhluk. Mereka juga memandang bahwa surga dan neraka itu belum ada karena belum dipergunakan saat ini.
6.Asy'asriyah
aliran teologi ini merupakan aliran teologi yang timbul dari reaksi atas paham – paham golongan mu'tazilah. Aliran ini dikembangkan oleh Abu al-Hasan 'Ali Ibn Ismail al- Asy'ari yang juga merupakan murid dari al-Jubba'i salah satu tokoh aliran mu'tazilah. Al- Asy'ari dalam perkembangannya membuat aliran baru yang kemudian banyak disebut sebagai ahlu sunnah wal jama'ah. Aliran teologi ini sampai saat ini dianut banyak oleh umat Islam. Sebagaimana dijelaskan bahwa aliran ini timbul atas respon terhadap paham mu'tazilah sehingganya aliran teologi ini banyak berpendapat bertentangan dengan paham mu'tazilah. Misalnya dalam pandangan al-asy'ari bahwa tuhan mengetahui dengan sifatnya. Mustahil katanya bahwa tuhan mengetahui dengan sifat-Nya karena dengan demikian zat-Nya adalah pengetahuan dan tuhan sendiri adalah pengetahuan. Tuhan
bukan pengetahuan ('ilm) tetapi yang mengetahui ('Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan-Nya bukanlah dengan zat-Nya. Demikian pula dengan sifat seperti sifat hidup, berkuasa, mendengar, dan melihat. Begitu pula dengan pendapat tentang al- Qur'an, al'asy'ari berpendapat bahwa al-Qur'a itu Qadim. Mengenai perbuatan al'-asy'ari berpendapat bahwa perbuatan manusia bukanlah diciptakan manusia itu sendiri sebagaimana pendapat mu'tazilah, melainkan pebuatan diciptakan oleh tuhan. Perbuatan kufur itu buruk tetapi orang kafir ingin supaya perbuatan kufr itu sebenarnya bersifat baik. Apa yang dikehendaki orang kafir ini tak dapat diwujudkannya. Perbuatan iman bersifat baik, tetapi berat dan sulit. Orang mukmin ingin supaya perbuatan itu janganlah berat dan sulit. Tetapi apa yang dikehendakinya itu tak dapat diwujudkannya. Dengan demikian yang mewujudkan perbuatan kufur itu bukanlah orang kafir yang tak sanggup
membuat kufr bersifat baik, tetapi tuhanlah yang mewujudkannya dan tuhan memang berkehendak supaya kufr bersifat buruk. Demikian pula, yang menciptakan pekerjaan iman bukanlah orang mukmin yang tak sanggup membuat iman bersifat tidak berat dan sulit, tetapi tuhanlah yang menciptakannya dan tuhan memang menghendaki supaya iman bersifat berat dan sulit. Istilah yang dipakai al'asy'ari untuk perbuatan manusia yang diciptakan tuhan ialah alkasb. Dan dalam mewujudkan perbuatan yang diciptakan itu, daya yang ada dalam diri manusia tak mempunyait efek. Al'asy'ari juga berpendapat bahwa tuhan tak mempunyai muka, tangan, mata, dan sebagainya dengan tidak ditentukan bagaimana yaitu dengan tidak mempunyai bentuk dan batasan.
al'-as'ari seterusnya menentang paham keadilan tuhan yang dibawa kaum mu'tazilah. Menurut pendapatnya tuhan berkuasa mutlak dan tak ada satupun yang wajib baginya. Tuhan berbuat sekehendaknya, sehingga kalau ia memasukkan seluruh manusia ke dalam surga bukanlah ia bersifat tidak adil dan jika ia memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka tidaklah ia bersifat dzalim.
Juga ajaran tentang posisi menengah ditolak. Bagi al-Asy'ari orang yang bedosa besar tetap mukmin, karena imannya masih ada, tetapi karena dosa besar yang dilakukannya ia menjadi fasiq. Sekiranya orang bedosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, maka dalam dirinya akan tidak didapati kufur atau iman; dengan demikian bukanlah ia atheis dan bukan pula monotheis, tidak teman dan tidak pula musuh. Hal serupa ini tidak mungkin. Oleh karena itu tidak pula mungkin bahwa orang berdosa besar bukan mukmin bukan pula tidak kafir.
http://moxeeb.wordpress.com/2008/10/23/periodesasi-sejarah-teologi-islam/
Kesimpulan
Pada intinya, teologi adalah ilmu yang membahas tentang konsep-konsep ketuhanan. teologi Islam terbagi dalam beberapa periode atau zaman yakni zaman klasik (650-1250 M), zaman pertengahan (1250-1800 M) dan zaman modern (1800 dan setererusnya). Ada beberapa aliran dalam teologi islam, yaitu, Khawarij, Murji'ah, Qadariyah, Jabariah, Mu'tazilah, Asy'asriyah
0 comments:
Post a Comment